PIALA PERTAMA DEA
Vanda Nur Arieyani
Siang
ini Dea dan Isya dua orang kakak beradik
pulang sekolah sambil membawa sebuah piala yang cukup besar. Terburu-buru Isya membuka pintu pagar dan
berteriak lantang.
“Mamaaa … aku menang lomba olimpiade matematika.”
“Isya,
kenapa sih kok teriak-teriak begitu. Kan nggak sopan,” kata Dea mengingatkan Isya .
Mama
yang sedang sibuk di dapur sampai kaget dibuatnya. Segera Mama membukakan pintu dan menyongsong
dua putrinya.
“Ada apa, pulang sekolah
belum mengucap salam kok sudah teriak-teriak begitu,” kata Mama sambil memeluk Dea dan Isya
bergantian.
“Ngak
tau tuh Ma, Isya,” Dea berkata sambil cemberut pada adiknya.
“Wah
… ada kejutan rupanya, piala siapa ini?” tanya Mama
“Punya
itu tuh Ma, si cerewet Isya,” Dea berkata sambil melirik Isya.
“Wee
… kakak pasti iri, nggak dapat piala,”
Isya menyela tak mau kalah.
“Ehh,
sudah …sudah, kok malah saling mengejek begitu.” Mama segera mendamaikan sebelum pertengkaran
terjadi.
Begitulah,
Dea gadis cilik manis kelas 5 SD dan adiknya Isya gadis mungil berpipi gembul
bermata bulat kelas 3 SD. Dua orang
kakak beradik yang saling menyayangi tapi juga sering berselisih pendapat.
***
Dea termangu di
depan TV, matanya menatap layar TV tapi pikirannya lari kemana-mana. Dea memandang deretan piala di atas
buffet. Ada enam buah piala di atasnya, dan nama Isya-lah yang tertera di atas
piala-piala itu. Dea sedih, mengapa
dia tidak seperti Isya adiknya yang sering menang lomba. Lomba baca puisi, lomba bercerita, dan
terakhir kemarin lomba olympiade matematika.
“Fiuhh … “ Dea mendengus kesal
Apalagi ketika
mengingat, nenek, kakek, om dan tantenya juga sering memuji-muji Isya di
depannya. Kenapa sih, semua suka membicarakan
Isya.
“Ada apa Dea, kok kelihatannya kesal
begitu?” Tiba-tiba Mama yang sedang membaca buku di sampingnya menoleh.
“Engg .. itu Ma,
Dea kesal sama Isya.”
“Kenapa?” tanya
Mama heran
Dea akhirnya
bercerita kekesalan hatinya pada Mama.
Mama cuma tersenyum. Dielusnya
rambut pajang Dea dengan penuh sayang, lalu tiba-tiba mama berdiri dan
menggandeng tangan Dea.
“Ayo ikut Mama.”
Dea menurut saja,
ketika Mama mengajaknya ke halaman di belakang rumah. Tempat ini adalah tempat
favorit keluarga. Hawanya sejuk, ada
pohon mangga besar yang daunnya rimbun.
Dan di sekitarnya Mama menanam tanaman hias, ada bunga mawar, angrek,
alamanda, dan berbagai jenis tanaman lainnya.
Tanaman itu di tata sendiri oleh Mama hingga terlihat enak dan cantik di
pandang. Mama mengajak Dea duduk di bangku.
“Dea, lihat
kupu-kupu itu !” Seru Mama.
Seekor kupu-kupu hinggap di atas bunga
mawar. Kupu-kupu dengan sayap cantik itu
terbang mengitari taman hinggap dari bunga yang satu ke bunga yang lain. Pandangan mata Dea tertuju ke arah yang di tunjuk Mama.
Kemudian
Mama bercerita, jika diamati, kupu-kupu hanya bisa melihat keindahan sayap
teman-temannya. Sedangkan ia sendiri
mungkin memiliki sayap yang lebih indah.
Namun tak ia sadari. Begitu juga
manusia, seringkali tidak menyadari kelebihan dirinya. Ia merasa tak punya sesuatu hal pun yang bisa
dibanggakan. Sama seperti kupu-kupu yang
tidak bisa melihat sayap miliknya sendiri.
“Kan bisa lihat kaca
kalau ingin tahu keindahan sayapnya,” celetuk Dea.
“
Hi hi hi iya, kalau kupu-kupu ya berkaca di air kolam itu,” kata Mama tertawa
sambil menunjuk kolam ikan di samping rumah .
“Mama
yakin, Dea juga nggak kalah sama Isya.
Cuma saja kamu belum menyadari , dan kelebihanmu tentu tidak sama dengan
Isya.”
Dea
tersenyum, kekesalannya pada Isya sudah lenyap, karena cerita Mama tentang
sayap kupu-kupu. Tapi Dea masih
berpikir, kira-kira apa ya kelebihan dirinya?
***
“Dea,
kamu di panggil Pak Hadi di ruang guru,” kata Asrul sang ketua kelas.
“Iya,
ada apa ya Srul?” tanya Dea.
“Ahh
… paling kamu di suruh menyapu ruang guru,” jawab Asrul asal.
Sambil
berdebar Dea melangkah menuju ruang guru.
Dea menuju meja Pak Hadi yang terletak paling ujung. Pak Hadi adalah guru olah raga yang terkenal
paling tegas pada murid-muridnya.
Semakin dekat ke meja Pak Hadi hatinya semakin berdebar. Dea merasa tidak punya masalah.
“Ayo
duduk Dea,” kata Pak Hadi.
Ternyata
beberapa temannya juga sudah ada di sana .
Lega … rasanya. Ternyata Pak Hadi justru
memberi kabar mengejutkan. Dea terpilih
menjadi salah satu wakil sekolah pada porseni tahun ini. Dea mewakili sekolah dalam lomba ketangkasan.
Selama
satu bulan ini Dea dan teman-teman yang
menjadi wakil di porseni berlatih hampir tiap hari.
Dea
begitu semangat mengikuti latihan. Dea
ingin menunjukkan kalau dia juga bisa.
Memang Dea tidak jago matematika dan menyanyi seperti Isya. Atau jago Berpidato seperti Billa. Dea juga tidak pandai melukis seperti
Kayla. Ternyata Pak Hadi sudah menjadi
cermin untuk Dea. Sehingga Dea tahu,
jika dia jago olah raga. Terutama bulu
tangkis dan ketangkasan.
Selama
ini Dea tidak menyadari jika teman-temannya sangat mengagumi jika dia sudah beraksi jungkir
balik, atau meluncur pakai tali dari
gedung lantai dua sekolahnya. Apalagi
jika dia sudah lomba memanjat pohon dengan teman-temannya. Dea pasti menang. Padahal teman-temannya yang perempuan banyak
yang tidak berani naik pohon.
***
Sorak
sorai penonton menambah semangat para peserta porseni. Kali ini giliran Dea.
Suara teman-teman yang menyemangatinya membuat Dea yakin kalau
bisa. Semua jenis ketangkasan, mulai
melompat, merayap, meniti, jungkir balik ia lakukan dengan sukses.
Kini
tiba saat pengumuman para pemenang .
Kembali hati Dea berdebar-debar.
Ketiba tiba-tiba terdengar suara cukup nyaring menyebut namanya, “Nadia
Alifa Putri.” Dea sangat terkejut. Namanya diumumkan sebagai juara pertama lomba
ketangkasan.
Dea
maju ke atas panggung untuk menerima piala dan hadiah. Teman-teman dan para guru bertepuk tangan
ikut bergembira atas kemenangannya.
“Akhirnya
aku tahu keistimewaanku,” batin Dea sambil mendekap piala pertamanya.
*Rumah Hijau, 031052011
Cernak ini ditulis saat awal-awal saya belajar menulis. Saat saya memantapkan hati untuk belajar menulis cernak . Dan sampai sekarangpun masih belum 'entos' juga menulis cernak yang baik dan benar. Buktinya, bertumpuk-tumpuk cernak di folder yang belum tahu bagaimana nasibnya. Sebagian ada juga yang dikembalikan karena menurut pihak redaksi belum layak tayang. Sedih, galau, sedikit patah hati pasti lah, namanya juga ditolak.
Cernak di atas aslinya berantakan sangat. EYD yang belepotan, tanda baca yang ngawur di sana-sini. Maklum, belajar memang harus pernah salah, biar tahu yang mana yang benar ya kan?
Cernak ini saya tampilkan di sini setelah di edit sana-sini biar rapi dan lebih enak dibaca, sebagai kenang-kenangan. Sekaligus untuk menghidupkan kembali Blog ini. Karena cernak ini, adalah cernak pertama yang tampil dalam sebuah buku keroyokan, "Dear Love for Kids" yang dipersembahkan untuk anak-anak Indonesia, diterbitkan indie oleh Hafsa Publisher. Sekaligus aslinya itu curhatan mamak-mamak yang dijadikan cerpen :)
0 komentar:
Posting Komentar