The Coffee Memory
Penulis: Riawani Elyta
Penyunting: Laurensia Nita
Penerbit: Bentang Pustaka (Pustaka Populer)
Jumlah Halaman: 232 halaman
Harga: Rp.39.000
ISBN: 9786027888203
Sore itu saya menikmati secangkir kopi susu hangat, sambil membaca sebuah buku bersampul cokelat manis, dengan gambar butiran kopi yang berserak memenuhi hampir seluruh permukaannya. Tiba-tiba saya merasa telah berpindah tempat. Kafe Katjoe Manis. Interior kafe yang didominasi warna hitam dan putih tanpa sentuhan artistik berlebihan, telah mampu menyerap semua panca indera.
Dania, pemilik Katjoe Manis dengan ramah menemani dan
bercerita banyak hal tentang kafenya dan semua memory yang mengiringinya.
Dania dan Andro suaminya, merintis kafe Katjoe Manis
berdua. Bagi Andro, Katjoe Manis adalah impiannya. Impian membuat sebuah kafe
yang kelak namanya tak kalah harum dengan Starbucks. Tapi impian itu seakan
menguap meninggalkan kesedihan mendalam pada Dania dan Sultan jagoan kecilnya. Mata
saya ikut berkaca, setiap kali Dania bercerita tentang Sultan. Andro pergi
dalam sebuah kecelakaan. Dalam keterpurukaannya, Dania berusaha bangkit. Meski
hidupnya kini tak lagi lengkap dan sempurna tanpa Andro. Dania tidak ingin
impian Andro berhenti karena kepergiannya.
Dania mulai menghidupkan Katjoe Manis setelah beberapa
bulan kafe itu tak beroperasi. Saat itulah Dania mengalami berbagai macam
peristiwa yang menuntutnya untuk bisa menghadapi semuanya. Kehilangan Andro
berarti kehilangan seorang barista handal di kafenya. Karena bagi mereka
berdua, pekerjaan barista tidak hanya
seputar pemahaman tentang membuat dan menyajikan latte, maccahiato, espresso
dan cappuccino. Tetapi juga memahami akan filosofi dan histori yang tersimpan
di balik setiap milligram serbuk kopi.
Dania harus mencari barista pengganti Andro. Barry, sang
barista baru itu, ternyata menimbulkan
banyak tanya di benak Dania. Seolah dia menyimpan sesuatu yang begitu
rapat disembunyikannya. Saat itu pula muncul sosok Pram, lelaki dari masa lalu
Dania yang kini menjelma menjadi pengusaha kafe sukses. Dan celakanya, Pram
membuka Bookafeholic berdekatan dengan Katjoe Manis.
Hari-hari Dania selanjutnya dihinggapi banyak peristiwa
yang membuat perasaan rindunya pada Andro semakin kuat. Hingga dia dikepung
kebimbangan apakah dia akan membiarkan hatinya berpaling.
Saya menyesap kopi hingga tandas tak bersisa. Saya menghela
napas dalam, memandang Dania sambil tersenyum. Hati saya ikut merasakan rindu,
haru dan cinta yang begitu menderu dalam setiap helaan napas setelah mendengar
ceritanya. Dan hingga kini meskipun saya tak berada di Katjoe Manis, aromanya masih saja lekat dalam
memory.
***
The Coffe Memory.
Sebuah novel yang cukup manis, semanis cover dan aroma kopi yang begitu kuat menguar
dari setiap lembarnya. Riawani Elyta seperti biasa begitu pintar meramu dan
menjalin cerita tentang cinta dengan santun dibumbui intrik lika-liku bisnis coffe shop dan menyelipkan banyak
informasi tentang kopi.
Membaca novel ini tidak
saja dimanjakan dengan imajinasi tokoh-tokoh dan alur ceritanya, tapi juga
dimanjakan dengan beberapa quotes dan tips tentang kopi. Pembaca yang notabene
bukan pecandu kopi semacam saya, jadi manggut-manggut dan mencoba menghayati
filosofi di balik secangkir kopi.
Kopi
arabika memiliki tekstur yang lebih kaya dan rentang cita rasa yang lebih luas.
Sebelum dipanggang, aromanya menyerupai blueberry, tetapi setelah melalui
proses pemanggangan, aroma buah akan beralih menjadi aroma manis biji kopi
panggang. Tujuh puluh persen produksi kopi dunia adalah dari jenis
arbaika. (Hal. 199)
Secangkir
kopi adalah jembatan kenangan dan komunikasi yang paling hangat. Dan
bersamanya, kita bisa menciptakan momen-momen special dalam secercah perjalanan
hidup. (Hal. 215)
Dalam novel ini Riawani
Elyta juga mengajak saya untuk bernostalgia dengan dua orang saudara sepupu
pemilik Bread Talk, sebuah bakery shop yang diramu apik dalam novel pertamanya
Tarappucino. Tiba-tiba jadi kangen Tara, Rafli dan tentu saja Hazel hehe. Meskipun konflik di
the Coffe Memory cenderung lebih ringan, karena itu sangat cocok dibaca sambil menikmati secangkir kopi atau teh
hangat di pagi atau sore yang teduh.
Dalam sebuah novel, bagi
saya selain jalinan cerita dan konfliknya, tak kalah penting karakter tokohnya
yang kuat. Entah kenapa di novel Riawani Elyta ini sampai saya menuntaskan
lembar terakhir, saya belum bisa menggambarkan sosok Dania seperti apa. Rasanya kurang
terdeskripsikan dengan lebih detil. Beda saat saya membaca Tarappucino, tokoh
Tara begitu merasuk dalam ingatan saya, dan seolah bisa membayangkan wujud
nyatanya.
Justru tokoh yang
melekat dalam ingatan saya adalah tokoh Barry dan Pram. Saya membayangkan sosok
Barry seperti chef Juna dengan kulit putih sedap dipandang dan semakin sedap
dengan apron dan aksinya di dapur. Sedang sosok Pram saya membayangkan
perpaduan antara Reza Rahardian dan Atalarik, tampan, maskulin, dengan tubuh
tinggi proporsioanal hmm…
Akhirnya, tetap
mengacungkan jempol untuk novel ini. Dan saya selalu rindu membaca novel-novel
Riawani Elyta yang sepertinya akan lahir berturutan di tahun ini. Tetap
semangat untuk menulis cerita yang mengispirasi, menerobos ranah romance dengan
tetap menjaga idealisme dan identintas penulisnya. Menjadikan cerita romance, tak seperti
biasa. Ada nilai yang bisa dipetik, minimal pembaca manggut-manggut, merasakan
hangat yang mengalir di hati.
Saat aroma kopi itu
menjauh,
Kusadari bahwa kau
tak mungkin kutemui
lagi
Seperti aromamu yang
terempas
oleh butir udara,
meninggalkanku dalam
sunyi
yang dingin
Sampai kusadari kau
hadir,
menyergapku dalam diam,
mengembalikanku dalam
kenangan.
Dan, menabur aroma yang
sama
dengan apa yang telah
kutinggalkan.
Ketika itulah aku
pahami,
Aku tak mungkin
berpaling lagi.
makasih mbak Vanda,untuk reviewnya yang sweet :)
BalasHapussama-sama mbak Lyta :) sweet seperti penulis novelnya ^_^
Hapusitu covernya beda? tapi tetep sama kan? cuma covernya aja? mau beli nih soalnya. takut beda^^
BalasHapus